Sebelumnya, tidak ada rencana untuk ke Danau Maninjau sampai kami diyakinkan oleh ibu-ibu petani yang saya jumpai di pesawahan Ngarai Sianok. Beliau bilang hanya satu jam dari sana. Pikir-pikir, mumpung sudah kagok di sana dan masih pagi, ya ayo deh.
Sebelum ke Danau Maninjau, baca kunjungan saya ke
Ngarai Sianok: Berada di Lembah Jurang
Jalan dari Ngarai Sianok memang jalan perbatasan antara Kota Bukittinggi dengan Kabupaten Agam menuju Danau Maninjau. Kalau mengecek melalui Google Maps, Danau Maninjau berada satu jam dari Ngarai Sianok.
Ibu-ibu petani bukan menyarankan ke danau sih, tapi ke Puncak Lawang. Sebuah puncak bukit yang dulu menjadi tempat peristirahatan para bangsawan Belanda saat zaman penjajahan. Dari Puncak Lawang, kita dapat melihat Danau Maninjau dari atas ketinggian.
Melihat Danau Maninjau dari ketinggian
40 menit perjalanan, akhirnya kami putuskan untuk ke Puncak Lawang. Masih dengan jalan yang sama menuju Maninjau, barulah ketika di dua percabangan di Parit Panjang, kita harus menanjak naik menuju bukit.
Dari bawah, Puncak Lawang sudah tertera di berbagai petunjuk jalan, setelah sampai, ada sebuah pos tiket masuk kira-kira sekitar 200 meter dari bibir jalan. Seharga Rp. 20.000 per orang dan Rp. 2.000 untuk parkir motor.
Dari tempat parkir, akan ada mobil shuttle yang mengantar sampai pintu masuk ditandai dengan tangga yang cukup tinggi dan banyak. Hitung-hitung olahraga ya.
Di anak tangga paling atas, Bukit Barisan dan sebagian Danau Maninjau sudah terlihat. Semakin menuju ujung bukit, akan semakin jelas hamparan luas Danau Maninjau yang begitu besar. Merinding loh saya.
Ternyata, Puncak Lawang ini merupakan spot paralayang terbaik di Asia Tenggara. Setiap tahunnya terdapat event paralayang yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah. Gak heran sih kalau dibilang terbaik, pemandangannya luar biasa kayak gini sih, saya setuju.
Di atas sini juga terdapat berbagai macam spot selfie yang dibangun dan dikelola oleh masyarakat sekitar dengan tarif berkisar mulai dari Rp. 5.000 sampai Rp. 20.000. Apakah saya mencoba wahana tersebut? Tentu saja tidak. Lebih suka foto secara natural.
Turun ke tepian lewat Kelok 44
Dasar emang manusia yang gak pernah puas. Di atas Puncak Lawang, lagi-lagi kami berdua sok keidean buat turun dan melihat danau dari dekat. Sama-sama setuju, ya segeralah kami melanjutkan perjalanan.
Berjalan lagi selama kira-kira 30 menit dengan medan jalan yang cenderung menurun. Kami disambut oleh berbagai peringatan akan melewati Kelok ampek puluah ampek, alias Kelok 44.
Sebuah jalan yang sengaja dibuat bertikung melingkari lereng perbukitan sebelum sampai di Danau Maninjau. Persis sebanyak 44 kelokan tajam yang bikin ngeri setiap kali berbelok, uniknya setiap tikungan diberi nomor urut.
Diandaikan sebuah jalan lurus, kelok 44 memiliki panjang sekitar 10 kilometer. Tapi, jangan salah, Kelok 44 adalah lintasan pertandingan balap sepeda kelas dunia yang diadakan di Sumatera Barat, Tour de Singkarak. Mana saya baru tahu juga ternyata setelah pulang dari sana.
Jika sudah melewati Pasar tradisional Maninjau, artinya kalian sudah sampai di kawasan Danau Maninjau. Kalian tidak akan mendengar suara deburan ombak, ya. Wong ini bukan laut. Cuma melihat danau yang sebegitu luasnya, saya cuma ngeri aja rasanya. Entah mengapa tiba-tiba ada rasa takut.
Mencoba Pensi dan Rinuak
Sejak pagi, kami belum makan. Akhirnya kami berhenti asal di sebuah warung yang menjajakan berbagai olahan ikan yang terlihat digantung, seperti ikan asap.
Sudah diwanti-wanti oleh teman, ketika ke Danau Maninjau, cobalah dua makanan yang berbahan dasar hasil tangkapan dari danau. Pensi dan Ikan Rinuak.
Pensi adalah kerang air tawar, bisa dibilang seperti remis, sedangkan ikan rinuak adalah ikan air tawar yang bentuknya kecil, mirip dengan ikan teri tapi badannya nyaris transparan. Keduanya merupakan makhluk endemic yang hanya bisa hidup secara lokal di Danau Maninjau.
Diceritakan oleh ibu Enih, sang penjual di warung yang kita datangi, katanya ikan rinuak ataupun pensi tidak bisa dibawa keluar danau untuk dibudidayakan bagaimanapun caranya, belum ketemu caranya.
Beliau memperkenalkan olahan pensi dan ikan rinuak kepada kami. Ada tumis pensi yang dimasak dengan berbagai rempah. Sedangkan untuk ikan rinuak, ada palai (pepes) rinuak dan pergedel rinuak.
Mungkin karena lapar, tidak ada terasa yang aneh. Cuman saya penasaran ada yang memberi tahu saya mencoba sambalado ikan rinuak. Semoga bisa kesana lagi ya!
Sebelum pulang, kami memutuskan (lagi) ke sisi sebelah Danau Maninjau, tempat sebuah Pembangkit Listrik Tenaga Air Maninjau berada. Karena kedapatan ada sebuah spot bagus di Google, kami kejar sampai ke sana. Tapi, sayangnya, tidak ditemukan.
Alhasil, tidak pakai lama, kami kembali menuju Kota Padang di sore hari itu. Walau terhadang hujan besar di tengah perjalanan, tapi perjalanan ke Danau Maninjau jadi salah satu yang berkesan.
Betulkah ada makanan lain khas Maninjau yang mesti saya coba? Atau ternyata ada yang tahu dimana spot bagus Danau Maninjau itu berada? Silakan, jangan sungkan untuk isi di kolom komentar di bawah ya. Kuy, der!
Ngider di Ibukota Sumatera Barat, kemana saja? Silakan berkunjung ke
Padang: Perjalanan Nyaris 300 Kilometer
______________________________
Danau Maninjau
Tanjung Raya, Kabupaten Agam, Sumatera Barat 26471
_________________________
KUY, DER!
Tukang Ngider
Ngider terus, terus ngider
Follow the journey on:
Instagram : @tukangngider
VLOG on Youtube : tukangngider
Facebook Page : Tukang Ngider