Badan sudah terasa cukup remuk sore itu, ditambah lagi perut belum terisi oleh makanan berat sejak pagi hari. Di sore hari yang cerah itu, sampailah di Jam Gadang Bukittinggi, tempat beristirahat sebelum kembali pulang ke Kota Padang.
Semua orang merespon, “Kenapa sih gak nginep aja di Bukittinggi?” Ya, namanya juga serba dadakan, tidak menyangka berjalan sejauh 200 kilometer pada hari itu. Sedangkan semua barang-barang ada di Padang, sekalian sajalah pulang.
Rencana awal mengunjungi Jam Gadang di siang hari langsung berubah juga ketika berpikir, masa iya mau siang-siang tengah bolong di Jam Gadang? Panas banget pastinya. Begitulah salah satu alasan kenapa kami melanjutkan perjalanan sampai ke Danau Maninjau.
Kami sampai nyaris pukul 5 sore, sedikit tersendat karena hujan besar di tengah perjalanan di Agam menuju Bukittinggi, jadilah kami menunggu sampai cukup reda. Kalau tidak hujan, mungkin jam 4 sudah sampai di Bukittinggi.
Titik Nol Kilometer Kota Bukittinggi
Jam Gadang adalah menara jam yang disebut-sebut sebagai Big Bennya Indonesia. Menara ini dibangun di tahun 1926 sebagai hadiah dari Ratu Belanda kepada Rookmaker, sekretaris kota Fort de Kock, nama terdahulu Bukittinggi di masa kolonialisme Belanda.
Hebatnya, menara ini dibuat tanpa rangka besi dan semen sama sekali. Hanya menggunakan campuran putih telur, kapur, dan pasir putih. Masih kokoh berdiri menuju 100 tahun lamanya.
Menara ini setinggi 26 meter dengan menelan biaya sebesar 3.000 gulden, angka yang besar pada saat itu, sehingga ketika selesai dibangun, menara ini menjadi pusat perhatian dan menjadikan Jam Gadang sebagai penanda titik nol kota Bukittinggi.
Empat jam yang berada di setiap sisi di menara jam ini menggunakan mesin penggerak mekanik yang hanya diproduksi dua buah saja di dunia. Jam Gadang dan satunya lagi, Big Ben di Inggris.
Sejak dibangun pertama kali hingga sekarang, atap Jam Gadang sudah berubah sebanyak 3 kali mengikuti masa pemerintahan di kota Bukittinggi. Pertama kali dibangun berbentuk bulat dengan patung ayam jantan menghadap timur saat penjajahan Belanda.
Diubah menjadi pagoda saat pendudukan Jepang, dan akhirnya menjadi bentuk gonjong seperti atap rumah Gadang di keempat sisinya selepas Indonesia Merdeka hingga sekarang.
Terdapat 3 Pasar di sekitar Jam Gadang Bukittinggi
Jujur saja, hari itu, kawasan Jam Gadang sangatlah ramai oleh kendaraan yang parkir. Kami yang naik motor sampai kesulitan mencari parkir. Sampai berpikir untuk memarkirkan motor di Plaza Bukittinggi setelah dua kali memutar.
Sesampainya kami tepat di bawah Jam Gadang, kami memutuskan untuk mengisi perut terlebih dahulu. Berbekal rekomendasi seorang teman yang bercerita kalau di area Jam Gadang ada beberapa pasar.
Di salah satunya terdapat area makan bernama Los Lambuang yang akan saya ceritakan terpisah supaya lebih panjang ceritanya.
Ceritanya bisa kalian baca di
Los Lambuang: Surganya Kuliner Nasi Kapau
Mencoba Karupuak Kuah
Setelah selesai berurusan dengan perut kami ini, belumlah selesai sampai disitu, kembalinya kami ke Jam Gadang, ada penjaja makanan yang menawarkan kami dengan gigihnya. Ibu-ibu penjual membawa kerupuk dalam bungkusan besar dan tentengan di tangan lainnya.
Karupuak kuah, namanya. Hanya dengan Rp. 5.000, sebuah kerupuk bundar yang dilipat dua berbahan dasar singkong, atau ada yang sebut itu kecimpring. Lalu dioleskan bumbu kuah sate padang nyaris menutupi permukaan kerupuk.
Ditambahkan mie goreng yang tampak terlihat pedas dari warnanya, kemudian diberikan lagi bumbu kuah sate padang di atas mie. Jadilah Karupuak Kuah atau ada nama lainnya Karupuak Leak, Karupuak Siram, Karupuak Mie, dan lainnya.
Betapa nikmatnya bumbu kuah sate padang yang asli langsung dari daerahnya. Mie goreng memang sedikit pedas tapi tidak bikin terbakar. Kerupuknya sendiri lama kelamaan lembek karena terpapar kuah sate. Seenak itu, guys. (Untung gak meninggal).
Tidak cuma di Jam Gadang Bukittinggi saja, di Kota Padang pun kalian bisa menemukan jajanan ini dimanapun kalian berada selama ada di Sumatera Barat. Bisa dibilang menjadi jajanan khas daerah Sumatera Barat.
Menikmati Jam Gadang di malam hari
Jam Gadang Bukittinggi yang selama ini hanya bisa saya lihat dari berbagai buku dan majalah, cuplikan videonya dari berita di televisi, akhirnya sekarang tepat di depan mata. Satu dari sekian wishlist saya sejak dulu yang terkabul dalam perjalanan #AmazingJourney ini.
Bersama banyak pengunjung yang memenuhi taman di sekitaran Jam Gadang bersama keluarganya, lampu-lampu menerangi Jam Gadang di kala malam datang.
Kami masih beristirahat di sini, mengambil beberapa foto dan video sebelum akhirnya benar-benar pulang kembali ke Kota Padang mengingat masih ada 3 jam perjalanan lagi.
Disinilah perjalanan nyaris 300 kilometer kami selesai. Dipikir-pikir, kami itu gila. Terlalu nekat sebegitunya karena alasan mumpung sudah ada di tempat. Belum tentu bisa balik lagi dalam waktu dekat.
Tapi ya tak apa, jadi punya cerita yang bisa dibagikan seperti ini kan? Tidak ada kata menyesal kok, malah berbahagia punya pengalaman yang mungkin kedepannya tidak bisa dilakukan lagi.
Buat yang mau coba mengikuti, lihat kondisi stamina badan ya, dirasa tidak cukup kuat, jangan dipaksa. Dibanding ada apa-apa di perjalanan. Lebih baik berkunjung di lain hari ketimbang terjadi sesuatu yang tidak menyenangkan. Ok? Kuy, der!
Perjalanan mengunjungi Kota Padang dan sekitarnya, kemana saja?
Padang: Perjalanan Nyaris 300 Kilometer
______________________________
Jam Gadang Bukittinggi
Benteng Pasar Atas, Guguk Panjang, Kota Bukittinggi, Sumatera Barat 26136
_________________________
KUY, DER!
Tukang Ngider
Ngider terus, terus ngider
Follow the journey on:
Instagram : @tukangngider
VLOG on Youtube : tukangngider
Facebook Page : Tukang Ngider
1 thought on “Jam Gadang Bukittinggi: Big Bennya Indonesia”